Catatan Harian Santri
Oleh: Ishlahul Fuadi*
Bagi Fuadi, semua itu hanyalah segelintir cobaan untuk menempa mentalitas saat hidup di masyarakat nantinya. Menjadi al-jāsūs baginya adalah peringatan untuk merubah perilaku menjadi lebih baik dan hidup dengan menjunjung peraturan dan tidak melanggarnya. Ke mana-mana selalu ada yang memata-matai, hal itu mengajarkannya untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.
Bertahan dan Berprestasi
Keputusan orang tua Ishlahul Fuadi, setelah menamatkan pendidikan enam tahun di MIN 1 Bebesen (sekarang sudah menjadi MIN 8 Aceh Tengah) adalah dengan mendaftarkannya ke pesantren. Mereka berharap agar Fuadi dapat belajar dengan baik dan hidup mandiri. Awalnya, orang tua Fuadi sepakat untuk mendaftarkannya ke Dayah Ummul Aiman di Samalanga, namun karena pendaftaran sudah ditutup, akhirnya orang tua Fuadi mendaftarkannya ke Pesantren Modern Az-Zahrah yang terletak di Desa Benyout, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen.
Pada saat mengikuti tes pendaftaran, Ibunya berkata, ”Fuadi..!, kalau ditanya nanti keinginanmu masuk pesantren, apakah karena keinginan sendiri atau atau keinginan orang tua, maka jawab aja kemauan sendiri ya..! Jangan bilang ada paksaan dari Mamak,” begitu Ibu mengajarinya. Fuadi mengangguk sambil menjawab, “Iya Mak,” meskipun hati saya sebenarnya merasa terpaksa masuk ke pesantren.
Saat pengumuman kelulusan, Ibu merasa bahagia dan bangga karena Fuadi termasuk santri yang dinyatakan lulus, sementara dia sendiri merasa heran, “Kok aku bisa lulus..?” Padahal semasa tes (ujian seleksi) dia menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penguji dengan asal-asalan. Bahkan Ibu mengabarkan kalau nomor urut kelulusan Fuadi berada di peringkat ketiga dari semua peserta yang ikut tes. ”Astagfirullāh,” gumam Fuadi dalam batin, “Kenapa bisa ya..? Mungkin ini adalah petunjuk dan takdir dari Yang Maha Kuasa agar kelak saya menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.”
Selasa 20 Agustus 2013, seluruh santri baru memasuki gerbang “penjara suci” Az-Zahrah, saat di mana Fuadi akan berpisah sementara dengan orang tuanya. Mulai saat itu panggilan siswa berubah menjadi santri, dan setiap santri harus bersiap untuk menghadapi semua pendidikan yang “katanya” penuh dengan rintangan dan cobaan.
Di pesantren ini, pertama sekali Fuadi mengenal istilah senior dan junior. Junior adalah santri-santri yang masih duduk di jenjang MTs, sedangkan senior adalah santri-santri pada jenjang MA. Para senior sudah mendapat tugas untuk mengurus junior, karenanya dibentuk sebuah wadah Organisasi Santri Pesantren Al-zahrah yang disingkat dengan OSPA (terdiri dari munaẓẓamah al-‘āmmah dan mudabbir al-maskan) yang mengatur para santri selama berkegiatan di pesantren. Di sisi lain ada juga istilah “mafia” (māfī al-‘amal), yaitu sebutan untuk para senior yang tidak terlibat atau tidak terpilih menjadi pengurus OSPA.
Di sini Fuadi mendapatkan pengalaman dan proses pendidikan yang mungkin tidak didapat di sekolah lain, seperti antrean panjang saat makan di dapur. Setiap santri harus rela mengantre sampai puluhan meter apabila telat datang ke dapur, dan harus besabar apabila tiba-tiba datang senior layaknya big boss yang tanpa merasa berdosa memotong barisan dan menyuruh para junior untuk antre di belakang mereka. Dan juga tidak aneh apalagi mengejutkan bila didapati fenomena unik di dapur santri, mulai dari adu mulut dengan ibu dapur karena tidak mendapat bagian ikan tongkol secara adil, main “oper-operan” ikan ke kawan agar mendapat dua potong ikan, belum lagi harus adu lari ke dapur apabila menu hari itu daging ayam. Satu piring makan berdua hingga tiga orang, satu gelas untuk semua sudah menjadi hal lazim yang ditemukan dalam kehidupan santri. Bahkan makan di atas wadah kardus pun bukan lagi menjadi hal yang eneh seperti yang dilakukan teman saya Febri dan Turaha yang makan di atas kardus mie instant karena tidak membawa piring.
Tidak hanya di dapur, di kamar mandi pun akan ditemukan hal-hal unik, seperti senior yang datang dengan hanya bermodalkan sikat gigi di tangan kanannya. Sampai di kamar mandi, santri senior beraksi melengkapi alat mandinya dengan “men-daur” satu per satu ember atau keranjang kecil perlengkapan mandi milik juniornya. Mulai dari shampo, odol, sabun muka, hingga sabun badan pun habis diminta oleh mereka. Di sini para junior harus bersabar karena ulah para senior yang mirip pemalak. ☺
Maḥkamah, adalah tempat bagi santri yang melanggar aturan menerima hukuman dari pengurus munaẓẓamah. Setelah salat Isya, ketegangan menyelimuti setiap jamaah yang hadir manakala anggota qism al-I’lān membacakan nama-nama pelanggar. Suasana musala tiba-tiba hening dan hanya terdengar suara si pembaca yang keluar dari microphone. Satu per satu nama-nama pelanggar dan jenis pelanggaran dibacakan, mulai dari keamanan, kebersihan, ibadah, dan bahasa. Setelah nama-nama dibacakan, banyak yang berteriak, ”Yeee….” karena gembira bukan kepalang, dan mereka itulah yang terbebas dari pemanggilan ke maḥkamah, sementara yang tertunduk lemas dengan dada bedegub bisa dipastikan mereka adalah para pesakitan yang “tertangkap al-jāsūs” saat melakukan pelanggaran. Hanya kepasrahan yang ada saat turun dari musala menuju maḥkamah untuk mempertanggungjawabkan kesalahan mereka dan menerima hukuman.
Tiap-tiap bagian memiliki hukumannya masing-masing, mulai dari push-up, squat jump, mengutip sampah di sekeliling pesantren, sampai dengan dipukul pakai rotan di tangan maupun betis, bahkan terkadang ada yang dibotak dan pastinya setiap pelanggar mempunyai kenangan sendiri yang mungkin saja masih tersimpan di hati. Setelah para pelanggar diberi hukuman selanjutnya mendapat tugas untuk menjadi al-jāsūs, menjadi pengawas kesalahan santri lainnya dengan mencatat tempat, waktu, dan saksi kemudian melaporkannya ke pengurus organisasi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Keluar-masuk maḥkamah dilalui silih berganti dan menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan santri.
Hal-hal demikian tidak membuat tekad Fuadi surut untuk bertahan, meskipun beberapa santri menyerah kalah dan mundur pulang tidak tahan dengan pola kehidupan di pesantren. Bagi Fuadi, semua itu hanyalah segelintir cobaan untuk menempa mentalitas saat hidup di masyarakat nantinya. Menjadi al-jāsūs baginya adalah peringatan untuk merubah perilaku menjadi lebih baik dan hidup dengan menjunjung peraturan dan tidak melanggarnya. Ke mana-mana selalu ada yang memata-matai, hal itu mengajarkannya untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.
Di pesantren, kehidupan Fuadi berubah drastis, tidak seperti saat bersekolah MIN dulu. Di sini, Fuadi mulai aktif belajar, karena itu pula dia pernah menduduki peringkat III besar saat di kelas II dan III MTs. Fuadi juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Bersama Fadhil S. Imanda adik kelasnya, pernah mewakili pesantren dalam kegiatan dianpinru (peng-Geladian Pimpinan Regu) se-Kabupaten Bireuen yang diadakan di SMK 1 PGRI yang sekarang sudah berubah fungsi menjadi kantor Kwarcab Bireuen. Dia juga pernah mewakili pesantren hingga event nasional pada MISC (Minangkabau International Scout Camp) yang diadakan oleh IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor di Padang pada tahun 2015.
Dari situlah Fuadi mengembangkan bakat, hingga pada saat menjadi santri senior dia ditugaskan pada salah satu bagian dari pengurus OSPA. Fuadi diamanahkan menjabat Sekretaris Bagian Pramuka Pusat Putra periode 2016-2017, sementara temannya Satria Nosra menjadi Ketua Bagian Pramuka. Pada tahun berikutnya dia diamanahkan menjadi Ketua Bagian Pramuka Pusat Putra periode 2017-2018 dengan beranggotakan sahabat-sahabatnya yang lain (Reza Taufiq, Erbian Rahwandi, dan Zumadil).
Di Bagian Pramuka, mereka berlatih seminggu sekali kecuali saat ada event-event tertentu. Ada hal yang membuatnya terkenang, saat salah seorang ustaz marah karena pengurus bagian pramuka melanggar aturan. Saat itu pengurus pramuka diberdirikan di depan seluruh santri, dan ustaz berkata, ”Untuk apa ada bagian pramuka, bikin semak aja di OSPA. Kerja cuma seminggu sekali, dua harilah kalau dihitung dengan kegiatan pionering. Tapi hobi kalian cuma melanggar, dan itu-itu saja orangnya.” Mereka hanya bisa terdiam sambil berkata di dalam hati, ”Ustāż hāżā lam ya’rifnā,” sambil menyesali diri dan bertekad untuk berubah. Semejak kejadian yang menyakitkan hati dan membekas karena malu, akhirnya kami bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah dan tidak lalai dalam menyelesaikan tugas-tugas. Rasa malu ternyata tidak berakhir sampai di situ, menjelang LPj (Laporan Pertanggungjawaban) banyak santri yang menyoraki kami karena dianggap pengurus yang kejam. Namun menurut para ustaz, yang mendapat banyak sorakan boleh jadi dikategorikan sebagai pengurus yang berhasil menjalankan amanahnya dengan baik. Mereka rela terlihat buruk di depan santri yang lain demi menjalankan amanah yang dititipkan para ustaz kepada mereka.
Meskipun dikenal sebagai pengurus yang "kejam" dan kadang melanggara peraturan, tapi mereka berhasil membawa nama Az-Zahrah hingga tingkat provinsi dalam lomba LP3 (Lomba Perkemahan Penggalang dan Penegak) se-Aceh yang diadakan di Lhoknga Aceh besar. Mereka meraih juara umum II dalam perkemahan tersebut. Mereka juga berhasil meraih juara I Lomba Ketangkasan Baris-berbaris (LKBB), dan Yel-yel dalam kegiatan Juang Penegak yang diadakan oleh Kwarcab Bireuen yang diikuti oleh perwakilan sekolah-sekolah se-Kabupaten Bireuen. Semua prestasi itu dapat diraih karena kerja sama dan gotong-royong serta bimbingan dari para ustaz tentunya.
Semasa menjadi santri senior, Fuadi pernah mewakili pesantren menjadi anggota paskibra (pasukan pengibar bendera) di tingkat kabupaten selama dua tahun berturut-turut. Pernah juga mewakili pesantren dalam lomba KSM (Kompetensi Siswa Madrasah) di tingkat kabupaten pada bidang Geografi terakreditasi dan meraih juara I di kabupaten, meskipun gagal mendapat juara di tingkat provinsi. Maklum, karena sebenarnya Fuadi adalah pelajar jurusan IPA yang diikutsertakan dalam lomba di jurusan IPS.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/75826/mayoran-ajaran-rasulullah-satu-nampan-banyak-tangan |
Kekonyolan Santri
Pengalaman yang tak terlupakan adalah saat kiriman berupa makanan dari orang tua datang. Apabila santri datang membawa kotak makanan, maka banyak teman yang merapat dan mendekat. Selalu saja ada yang “sok kenal, sok dekat,” ibarat magnet menarik besi, apabila makanan ada, maka dengan sendirinya banyak anak santri yang mendekat. Tidak jarang terjadi pertempuran dahsyat dalam memperebutkan makanan (ṭa’ām) itu. Masing-masing mengeluarkan jurus dan kesaktiannya demi mendapatkan ṭa’ām. Terkadang ṭa’ām yang diperebutkan tidak lagi utuh karena terlempar atau terbang sampai menyentuh plafon kamar. Terkadang juga ṭa’ām itu berhamburan di lantai akibat terjadi tarik-menarik antarkubu yang sepertinya kelaparan. Sementara si pemilik kiriman hanya bisa pasrah melihat nasib kirimannya yang tak berbentuk lagi karena diperebutkan. Seperti biasa, keusilan Fuadi muncul, sambil memegang ṭa’ām dia berkata, ”Intaẓir awwalan, ana faqaṭ uqassim bil ‘adl kai yajida kullanā.” Lalu dia mengambil jatah makanannya terlebih dahulu, selebihnya dilambungkannya ke atas dan kawan-kawan saling berebut mengambil jatah masing-masing yang sangat diragukan keutuhannya lagi.
Bersama Fahmi, Ahmad, dan Khadafi, Fuadi pernah mengerjai teman-teman se-kamarnya. Setelah mereka jajan di kantin, mereka melihat ada kue risol sisa kemarin malam yang kelihatan masih bagus, dibuang Bang Jal ke dalam tong Sampah. Khadafi menyela kepada Fuadi, ”Hayā naḥmil ilā al-ḥujrah,” dan kami pun mengutip risol-risol tersebut kemudian membawanya ke kamar. Sampai di kamar, saya menawarkan kepada teman-teman sambil berteriak, ”Woy…, man yurīd risol hāżā?” Tanpa berpikir panjang, seisi kamar menyerbu risol itu, mereka melahap semuanya hingga habis tanpa menanyakan asal-usulnya. Setelah mereka melahap habis semua risol, salah satu dari mereka mengucapkan, “Syukron na’am.” Fuadi dan teman-teman yang menggagas ide konyol ini pun hanya bisa menahan tawa dalam hati. Nasi sudah menjadi bubur, karena risol telah melewati tenggorokan. Di dalam hati kami berdoa, semoga candaan dan kekonyolan ini tidak menjadi petaka di kemudian hari. Alhamdulillah setelah kejadian itu tidak ada satu orang pun dari pemakan risol tong sampah yang keracunan. Astagfirullāh…. "Maafkan kami ya teman, dan ampuni kami ya Allah."
Baca juga: Catatan Santri: Pendidikan di Asrama
Di masa pancaroba ini, Fuadi melihat banyak perubahan yang terjadi pada teman-teman. Sebelum berangkat ke kelas selalu saja ada yang membuat gaduh dengan teriakan bahasa Arab yang dicampur-campur (bahasa Arab ala pesantren), ”Woi…, man maujud pomade, qassim qalīl.” Datang lagi yang lainnya, ”Woi… man maujud handbody, ana qalīl na’am…,” Ada juga yang nyeletuk “Woi… aina musyṭun, amsi waḍa’tu hunā.” Di sudut kamar ada yang sedang sibuk mencari plastik kresek karena ingin mengenakan celana “pensil”. Begitulah santri, pergi sekolah ibarat pergi kondangan, sibuk setengah mati mementingkan gaya, padahal sampai di kelas banyk yang gugur tertunduk layu dalam jihad menuntut ilmu. Kebanyakan dari mereka terkalahkan dengan rayuan meja belajar yang terlihat empuk sembari meletakkan kepala di atasnya sebagai tanda bahwa mereka menyerah dan pasrah terlelap di atas kayu yang dirasa setara dengan bantal kapuk.
Itulah kehidupan santri, susah senang dihadapi bersama. Semua itu demi menuntut ilmu agar dapat membanggakan orang tua di rumah. Banyak cobaan yang dihadapi dalam perjalanan menuntut ilmu di pesantren, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Cobaan datang silih berganti, terkadang kami belum menyadari ada nilai-nilai dalam aktivitas sehari-hari yang kami lalui. Bahkan kadang kami tidak menyadari, dengan menjadi santri dan dengan segala kekonyolan kami dapat menemukan jati diri. Dengan canda tawa kami sering mengisi kekosongan waktu dan saling mengenal antarsuku dan budaya satu dengan yang lainnya di mana semuanya memiliki tujuan yang sama, yakni li ṭolabi al-‘ilmi li i’lā’i kalimatillāh dan juga demi membanggakan orang tua.
Keusilan, canda, dan kekonyolan, yang dialami ternyata hanyalah sebagian kecil dari pembelajaran hidup yang ternyata dapat dijadikan modal dalam mengarungi kehidupan yang lebih luas di masyakat. Kajahilan di kalangan santri pada akhirnya tidak lagi dianggap sebagai keluhan dan alasan untuk tidak bertahan di penjara suci. Semua pengalaman yang dialami menjadi alat penempa ketahanan mental. Pada akhirnya kisah dan cerita itu menjadi materi obrolan yang tak kunjung usai diulang-ulang saat bertemu kembali dengan para alumni.
*Alumni Pesantren Az-Zahrah Bireuen Aceh
Tags : Artikel Motivasi Pojok Santri
Jadi teringat dengan anak yang sedang mondok
BalasHapus