Gila Belum Tentu Bodoh
مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَعَلُّمِ سَاعَةً * تَجَرَّعَ ذُلَّ الجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ
وَمَنْ فَاتَهُ التَعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ * فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
حَيَاةُ الفَتَى وَاللهِ بِالعِلْمِ وَالتُقَى * إِذَا لَمْ يَكُوْنَا لاَ اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ
“Barang siapa yang tiada merasakan susahnya belajar, maka ia akan merasakan repotnya menjadi orang bodoh sepanjang hidupnya.
Barang siapa yang lalai belajar di masa mudanya, maka bertakbirlah untuknya empat kali (salat jenazah) untuk kematiannya.
Demi Allah, hidup ini harus berbekal ilmu dan takwa, bila keduanya tiada maka hidupnya pun tiada bermakna lagi.”
Istilah “bodoh” tentu sudah sangat akrab di telinga kita. Istilah ini biasa disematkan kepada orang yang tidak belajar sama sekali, sering juga disematkan kepada orang yang daya tangkapnya terhadap pelajaran mengalami kendala alias lamban. Di dalam bahasa Arab istilah bodoh mengacu kepada beberapa istilah yang satu sama lain memiliki persamaan dan perbedaan, yaitu: al-jahl atau al-jahalah, al-gaby atau al-gabawah, al-humq atau al-hamaqah, dan as-safah atau as-safahah. Akan diuraikan secara ringkas keempat istilah di atas.
1. Al-jahl atau al-jahalah adalah kebodohan karena melakukan sesuatu tanpa ilmu, orangnya biasa disebut dengan jahil.
2. Al-gaby atau al-gabawah adalah kebodohan karena belum menguasai permasalahan, orangnya biasa disebut dengan al-gabiy.
3. Al-humq atau al-hamaqah adalah kebodohan disebabkan oleh lemahnya akal, orangnya lazim disebut dengan al-ahmaq.
4. As-safah atau as-safahah adalah kebodohan disebabkan ketidakcakapan dalam menuangkan ide atau gagasan, orangnya lazim dikenal dengan as-safih.
Cerita Ilustrasi Pertama
Seorang pedagang menggiring dua ekor keledai, masing-masing dibebani garam dan permadani. Perjalanan yang sangat melelahkan di tengah gurun pasir di bawah terik matahari. Setelah beberapa saat tiba lah mereka di sebuah oase, saatnya minum dan sejenak istirahat. Keduanya pun minum sepuasnya. Namun keledai pembawa garam, yang sedari awal tampak lebih cerdas, mencoba berendam agar lebih segar.
Setelah merasa cukup istirahat sang pedagang memerintahkan keduanya untuk melanjutkan perjalanan. Setelah peristiwa itu keledai pembawa garam merasa lebih rileks dan santai hingga menimbulkan pertanyaan bagi temannya, lalu ia pun memberanikan diri untuk bertanya: “ada apa denganmu, setelah persitiwa di oase tadi kulihat engkau lebih ceria dan semakin kuat untuk berjalan,” dengan santainya ia menjawab: “saat kita minum tadi, aku sempatkan untuk berendam, dan aku merasakan garam yang kubawa mencair di dalam air, lalu kubiarkan saja, hingga akhirnya tuan kita memerintahkan kita untuk melanjutkan perjalanan. Saat aku keluar aku pun merasakan bebanku semakin ringan.
Perjalanan pun berlanjut hingga akhirnya mereka kembali bertemu dengan oase kedua. Kuaduanya pun kembali minum. Tanpa pikir panjang keledai pembawa permadani pun merendamkan dirinya ke dalam air dan berlama-lama di dalam.
Saatnya melanjutkan perjalanan keledai tersebut merintih karena beban di pundaknya yang semakin berat akibat permadani yang basah. Hampir saja tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Sang pedagang yang dari tadi mengamati tingkah kedua keledainya berucap dalam bahasa Arab:
اَيُّهَا الْغَبِيُّ الأحْمَقِ اِعْلَمْ أَنَّ مَا يَصْلُحُ لِلشَّخْصِ لاَ يَجِبُ أَنْ يَصْلُحَ لِغَيْرِهِ وَاعْلَمْ أَنَّ التَّقْلِيْدَ بِغَيْرِ هُدَى ضَلَالَةٌ وَسَفَاهَةٌ.
“Wahai keledai bodoh dungu, ketahuilah bahwa sesuatu yang baik bagi seseorang tidak selalu baik bagi orang lain, ketahui pula bahwa taklid tanpa petunjuk adalah kesesatan dan kebodohan.”
Inilah penyakit gabiy dan ahmaq yang sering menjerumuskan manusia ke dalam kesalahan di dalam menarik sebuah kesimpulan atau malah berani melakukan sebuah tindakan tanpa pertimbangan yang matang. Ia bisa dikatakan gabiy disebabkan tidak menguasai permasalahan tetapi berani menarik sebuah kesimpulan. Ia dikatakan juga dengan ahmaq disebabkan tidak bisa melihat dengan jeli perbedaan antara dua perkara tetapi berani melakukan sebuah tindakan.
Lihatlah bagaimana risiko yang akan ditanggung oleh gabiy yang juga ahmaq, di saat ia ingin mengurangi bebannya malah harus menanggung beban yang lebih berat. Risiko yang disebabkan oleh penyakit ini sebenarnya tidak selalu harus ia tanggung sendiri, suatu saat bisa saja akan ditanggung oleh orang lain. Maka tidak heran bila kita mendengar seruan orang-orang bijak terdahulu agar jangan bergaul dengan orang ahmaq.
إِيَّـاكَ وَمُصَادَقَةَ الأَحْمَقِ فَإِنَّهُ يُرِيْـدُ أَنْ يَنْفَعَكَ فَيَضُرُّكَ
“Janganlah bergaul dengan orang ahmaq, ia ingin menolongmu malah membahayakanmu.”
Anda bisa bayangkan jika dalam sebuah pertempuran, anda tergabung ke dalam satu regu yang salah seorang personilnya tidak menguasai secara benar teknik penggunaan senjata karena ia orang yang gabiy atau ahmaq. Saat genting itu pun tiba, anda kehabisan peluru dan melihatnya menenteng granat, lalu Anda berteriak: “Berikan granat itu padaku,” dengan senang hati ia pun melemparkan granat tersebut kepada anda setelah mencabut pemicunya. Saat itu anda hanya perlu mengucap kalimat tauhid agar husnul khatimah. Ia ingin menolong anda malah membahayakan anda.
- Baca juga: Nilai-nilai Maḥfūẓāt lainnya; Motivasi Kehidupan: Maḥfūẓāt Memang Unik
- Baca juga: Nilai-nilai Maḥfūẓāt lainnya; Belajar dan Sekolah
Cerita Ilustrasi Kedua
Di sebuah gubuk yang terletak di ujung sawah berkumpul kawanan tikus sawah. Mereka membangun markas di dalamnya, seakan-akan mereka menjadi pemilik sah gubuk reot tersebut. Sehari-hari mereka memakan padi milik pak tani.
Tibalah saatnya seekor kucing mengetahui keberadaan kawanan tersebut dan membangun siasat untuk memangsa anggota kawanan yang lalai dan terpisah dari kawanannya. Satu, dua, tiga tikus telah menjadi santapan lezat sang kucing. Hal ini membuat kawanan tikus mulai cemas. Sebagai rasa tanggung jawab, kepala suku mengumpulkan seluruh anggota kawanan tanpa terkecuali guna bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Sebagai pimpinan yang demokratis kepala suku mempersilahkan kepada siapa saja yang ingin mengajukan pandangannya. Seekor tikus muda angkat biacara, “Ada baiknya kita tugaskan beberapa piket di pintu depan dan belakang gubuk ini, sehingga dapat memantau kehadiran sang kucing ganas itu, saat ia tiba kita pun langsung bersembunyi.”
Seekor tikus yang antagonis dan nampak tidak menyetujui pendapat tersebut berucap, “Aku siap menjadi piket di siang hari, tetapi tidak untuk malam hari, sebab kita semua tahu mata kucing di malam hari lebih tajam dari pada mata kita, aku tidak mau menjadi santapan si kucing ganas itu.” Akhirnya usulan tidak diterima.
Kali ini seekor tikus dewasa dan garang mengajukan pendapat, “Bagaimana kalau kita bunuh saja kucing itu?” Lalu seekor tikus betina menimpali pendapat tersebut dan berkata, “Aku sangat setuju, tetapi tolong jangan libatkan kami dalam urusan ini, sebab ini sangat berisiko bagi kami kaum lemah.” Satu per satu golongan muda, anak-anak, tua renta, merasa tidak siap untuk menjalankan ide di atas dengan alasannya masing-masing, dan usulan pun mentah.
Akhirnya seekor tikus tua dan tampak bijaksana memberikan usulan yang sangat brilian. Ia mengusulkan agar digantungkan sebuah lonceng kecil di leher kucing agar kehadirannya dapat didengar oleh seluruh kawanan dengan demikian kawanan bisa segera bersembunyi. Di dalam bahasa Arabnya ia berucap:
اَرَى مِنَ الصَّوَابِ أَنْ نُعَلِّقَ الجَرَسَ عَلَى عُنُقِ اْلقِطِّ كَىْ يُنَبِّهَنَا حُضُوْرُهُ
“Aku punya usul, sebaiknya kita gantung saja sebuah lonceng di leher kucing itu agar kita tahu bahwa dia sudah datang maka kita pun waspada.”
Pimpinan sidang tampak mengangguk-anggukkan kepala tanda salut kepada si pemberi usul. Yang lain terdiam sambil menimbang-nimbang usulan tersebut. Akhirnya pimpinan sidang melihat, bahwa usulan tersebut memang sangat bijaksana dan masuk di akal, lalu dengan santai ia pun memberi tawaran, sambil berucap:
الرَّأْيُ صَوَابٌ وَلكِنْ مَنْ يُعَلِّقُ اْلجَرَسَ؟
“Pendapat ini tepat sekali, tetapi siapa (yang berani) menggantungkan lonceng (di leher kucing)?”
Penyakit seperti ini termasuk ke dalam golongan safah. Setiap orang ingin memberikan usulan tanpa menimbang terlebih dahulu apakah usul itu layak diterima dan dapat dilaksanakan atau tidak. Penyakit ini pula yang sering terjadi pada debat kusir, di mana setiap pihak ingin selalu berkata ngalor ngidul tak tantu arah. Walaupun alasannya tidak logis tetap saja ingin selalu keluar sebagai pemenang. Menanggapi orang seperti ini sebaiknya kita mengambil sikap diam dan mencoba pura-pura menyetujui gagasannya. Orang bijak berkata:
فَخَيْرٌ مِنْ إِجَابَتِهِ السُكُوْتُ * إِذَا نَطَقَ السَفِيْهُ فَلاَ تُجِبْهُ
“Bila orang bodoh (safih) berbicara, maka tidak perlu menjawab. Jawaban yang paling baik adalah diam.”
Cerita Ilustrasi Ketiga
Suatu hari kediaman seorang kaya raya disatroni oleh maling. Maling tidak melukai seorang pun dari penghuni rumah termasuk para penjaga, mereka hanya mengambil barang- barang berharga yang terdapat di dalam peti penyimpanan, bahkan petinya ikut diangkut sekalian.
Keesokan harinya saat pemilik rumah terjaga ia pun menyadari apa yang terjadi. Ia mengumpulkan seluruh penghuni rumah termasuk penjaga dan memeriksa mereka dari kemungkinan terlibat. Tetapi semua bebas dari tuduhan dan Ia pun berkesimpulan, bahwa ini adalah pencurian murni. Dengan murka ia pun memerintahkan kepada seluruh penjaga agar segera mengejar pencuri dengan harapan dapat disusul. Seketika itu juga anak si pemilik rumah berucap:
دَعْهُمْ بِخَزَائِنِهِمْ فَإنَّ اْلمَفَاتِيْحَ ههُنَا بِيَدِى
“Biarkan saja mereka pergi membawa peti-peti itu, karea kuncinya ada di tanganku.”
Inilah kebodohan (al-jahl atau al-jahalah) yang paling sederhana walaupun kadang-kadang dapat mengundang bencana. Kebodohan ini timbul akibat dari ketidaktahuan si anak, bahwa peti bisa juga dibuka walapun tanpa kunci. Penyakit seperti ini akan segera hilang saat anak tersebut bertambah usianya dan memasuki bangku sekolahan.
Bahan latihan
Baca cerita di bawah ini dengan baik dan analisalah, lalu simpulkan tokoh utama di dalam cerita fiktif ini, Penyakit bodoh jenis apa yang ia alami?
Latihan 1; Pasien RSJ
Seorang pasien salah satu rumah sakit jiwa yang dianggap tidak berbahaya sering diajak berbelanja ke pasar oleh petugas dapur umum. Suatu hari saat salah satu roda truk bocor, sang supir dengan cekatan langsung membuka baut pengikat roda untuk menggantinya dengan ban serap. Tanpa disengaja tiga buah baut terjatuh ke dalam selokan yang dalam dan tidak mungkin dicari. Sang supir terlihat bingung, bagaimana mungkin mengikat roda hanya dengan tiga baut yang tersisa, sementara pusat perbelanjaan spare part mobil masih sangat jauh.
Di sela-sela kebingungan sang sopir, si pasien yang sedari tadi mengamati sopir mengusulkan, “Ya udah…, pasang aja baut yang tersisa itu secara selang seling, lalu kita melanjutkan perjalanan dengan kecepatan rendah, sampai bengkel baru kita beli tiga lagi.” Sang sopir yang menyetujui usul itu berucap, “Pandai juga kau ya…, padahal kau kan orang gila.” Dengan mantap sang pasien menjawab, “Aku kan cuma gila, tapi enggak bodoh kayak kau.”
Latihan 2; Bapak, anak dan keledai
Seorang bapak bersama anak laki-lakinya melakukan safar mengendarai seekor keledai secara bergantian. Saat melewati sebuah kampung, penduduk mencibir mereka: “Kamu ini anak yang tidak tahu sopan-santun, kamu mengendarai keledai sementara ayahmu berjalan kaki. Ayo turun, biar ayah kamu yang mengendarai.” Akhirnya si anak pun turun dan ayah yang mengendarai keledai.
Perjalanan berlanjut, sang ayah mengendarai keledai dan si anak berjalan kaki menyertai ayahnya. Tibalah mereka di sebuah perkampungan yang lain dan penduduk memerhatikan kejadian tersebut pun mencibir: “Kamu ini ayah yang tidak tahu diri, tega-teganya membiarkan anakmu berjalan kaki sementara kamu mengendarai keledai.” Akhirnya sang ayah pun turun.
Setelah keluar dari kampung itu, akhirnya mereka mengendarai keledai tersebut secara bersamaan. Perjalanan pun berlanjut dengan tertatih-tatih akibat keberatan beban. Maka mereka pun tiba di kampung yang lain lagi. Penduduk kampung yang merasa kasihan melihat keledai menghardik mereka: “Kalian ini manusia yang tidak ada rasa iba kepada hewan, silahkan turun, jangan siksa keledai itu!” Akhirnya mereka berdua turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, membiarkan keledai tersebut berjalan tanpa beban.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan nyaman. Keledai tampak lebih ceria karena berjalan tanpa beban. Sampai tibalah mereka di kampung yang lain. Penduduk kampung yang melihat peristiwa itu tertawa sambil mencibir: “Kalian ini manusia bodoh, membawa keledai tetapi tidak mengendarainya.”
Setelah keluar dari kampung tersebut akhirnya mereka berkesimpulan, sebaiknya keledai ini mereka gotong berdua. Tidak lama setelah itu mereka pun tiba di kota tujuan dengan menggotong keledai bernasib baik itu. Dan ini tentu membuat penduduk kota terbahak-bahak.
*Sabaruddin Simbolon, "Logika Kemuliaan Hidup: Menjaga Tradisi Mewarisi Modernitas". Sampai menjelang wafatnya (Allah yarhamhu), beliau adalah guru PKn di SMAN 5 Lhokseumwe dan mahasiswa S3 Prodi Hukum Islam UINSU. Menulis buku aḍ-ḍiyā’ al-lāmi’; majmū’ah min al-khuṭbah al-‘arabiyah, Epitemologi Hukum Islam; Dari Masa Nabi Muhammad saw. Sampai Dengan Ulama Mutakallimin, Metode Kritik Hadis; Suatu Pendekatan Baru, dll. Beliau juga penggagas sekaligus editor dalam beberapa buku karya santri da siswa, seperti: Berani Hidup Tak Takut Mati; Potret Kehidupan Santri, Logika Kemuliaan Hidup: Menjaga Tradisi Mewarisi Modernitas, karya (IKatan Alumni Pesantren Darularafah/IKAPDA), Kalung Pembawa Arti karya siswa SMPN 6 Lhokseumawe, Sang Motivator karya siswa SMAN 5 Lhokseumawe, Hijrah Together Ukhuwah Forever karya santri Damora Lhokseumawe, dll.
Menarik dan inspiratif.....
BalasHapusJudul dan isi sama menariknya.....
BalasHapus