Catatan Santri; Pendidikan di Asrama
Masih terngiang dengan jelas pekikan suara mudabbir (pengurus asrama dari santri senior) sambil menggedor pintu dan shunduq (Kotak untuk menyimpan pakaian) meneriakkan kata-kata bak mantra magis, "Qum..., qum..., qum...! Wahid..., istnani..., istnani wa nishf.... (Berdiri..., berdiri..., berdiri...! Satu..., dua..., dua setengah...)." Sontak aku dan sebagian penghuni kamar VIII Asrama al-Azhar bangun dan berdiri dari tidur singkat malam itu. Kebiasaan tidur para santri masa itu sekira pukul 22.30 dan harus bangun untuk persiapan salat subuh pukul 04.30.
Beberapa mudabbir kadang tak segan mengibaskan sajadah yang sengaja digulung menyerupai cemeti ke badan-badan yang saat itu masih enggan membuka matanya. Proses membangunkan para santri dari lelap tidurnya terasa begitu singkat, hanya butuh waktu 3-5 menit, seluruh penghuni kamar sudah sibuk dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Para haris al-hujrah (piket kamar) juga tak tinggal diam, mereka yang biasanya terdiri dari 2-3 orang santri dengan sigap menyusun kasur-kasur yang sebelumnya terhampar memenuhi lantai kamar, menyapu kamar dengan cepat sambil mengenakan sarung lengkap dengan ikat pinggangnya, kemeja, dan peci kemudian begegas pergi ke masjid bersama anggota kamar lainnya menunaikan salat subuh berjamaah.
Kadang terjadi juga konspirasi antara haris al-hujrah dan anggota kamar yang malas pergi ke masjid dengan cara bersembunyi di sela-sela susunan kasur yang sengaja diberi celah untuk sekadar dapat duduk dan bernafas demi melanjutkan tidurnya. Sementara haris al-hujrah menutupi kasur-kasur yang tersusun dengan kain selimut agar kelihatan rapi dan yang bersembunyi di dalamnya merasa aman.
Salat jamaah subuh selesai ditunaikan, dan para santri keluar dari masjid sambil berlarian menuju asrama untuk mengikuti kegiatan pemberian mufradat (kosakata). Aku sangat memahami, beberapa teman sengaja berlari kencang bak sprinter sedang bertanding dengan tujuan sekadar dapat memejamkan mata 3-5 lima menit menunggu para mudabbir datang dengan papan mufradat-nya.
Sekali waktu, pernah kulihat seorang santri yang berlari dari masjid menuju asrama. Setibanya di depan asrama 17 Agustus, kulihat arah larinya tidak stabil. Ia berlari dalam keadaan miring sedikit menuju parit di sisi kanan jalan. Tak sanggup mengerem lajunya yang lepas kendali, ia pun masuk ke parit terjerembab. Dugaanku ia berlari dalam keadaan ngantuk berat.
Pukul 07.00 para penghuni asrama sudah bersiap-siap untuk pergi ke kelas dengan pakaian rapi. Tak ada baju seragam dan tak ada tas yang disandang. Buku dan peralatan sekolah lainnya cukup dijinjing ala anak kuliahan menjadikan suasana belajar bebas, tidak kaku, dan menyenangkan. Dan delapan jam pelajaran pun dilalui penuh dengan nuansa pendidikan dan pengajaran (tarbiyah wa at-ta'lim).
Selepas salat asar berjamaah, kegiatan di asrama dilanjutkan dengan qira'ah (membaca) Alquran. Para mudabbir melakukan pengawasan dan memanggil santri-santri yang dianggap belum mampu membaca Alquran dengan baik untuk dibimbing dan diajar secara rutin. Kurasakan betapa keberadaan para mudabbir seperti abang sekaligus guru yang peduli dengan kelemahan adik-adiknya.
Saatnya olahraga dan kegiatan mandiri pada pukul 16.30 ditandai dengan dentuman 'lonceng keramat'. Para santri melampiaskan kepenatan mereka dalam belajar dengan melakukan olahraga mandiri, olahraga berkelompok yang terjadwal, bersantai, belajar, atau mencuci pakaian. Tak ada jasa binatu (laundry) apalagi strika-an. Namun aku dan santri lainnya dapat tampil rapi saat berpakaian. Cangkir nikel yang diisi air panas dijadikan setrikaan atau cukup dengan melipat pakaian yang kemudian diletakkan di bawah kasur saat hendak tidur di malam hari diyakini dapat menjadikan pakaian sedikit rapi.
Jamaah magrib selesai ditunaikan, kemudian dilanjut dengan membaca Alquran. Sebagaimana pada saat membaca Alquran di sore hari, para mudabbir melanjutkan perannya sebagai guru dalam membimbing dan mengajari adik-adiknya. Mendengar suara lonceng saat itu sama seperti menyongsong pembagian BLT atau raskin yang sangat ditunggu-tunggu. Para santri berlarian dari asrama menuju dapur umum secepat kilat agar mendapat antrean paling depan. Yang menarik adalah para santri diharuskan mencuci piring dan cangkir yang digunakan saat makan dengan sangat bersih. Jika piring yang dicuci tidak melampaui standar bersih dan mengkilap, maka petugas qism al-mathbakh (bagian dapur) akan menambah dengan sejumlah piring untuk dicuci ulang sebagai hukuman.
Sumber: https://ctosantrix.com/budaya-santri-antrian-mengambil-nasi/ |
Di malam hari (ba'da al-'isya), para santri dilarang berdiam di dalam kamar. Aku dan santri lainnya sibuk melaksanakan aktivitas belajar mandiri atau belajar dengan para wali kelas (muwajahah) sampai mejelang pukul 22.00. Tepat pukul 22.30 para santri wajib kembali ke asrama dan menuju kamar bersiap untuk tidur sambil menunggu para haris al-hujrah menyusun kasur.
Bisa dipastikan hampir setiap malam teman sebelahku berbeda dan aku tidak pernah tidur di posisi yang sama seperti malam sebelumnya. Dengan berbusana kaos dan celana panjang (tidak boleh memakai sarung, celana training, celana pendek), aku pun memejamkan mata sambil membaca, "Bismika Allahumma ahya wa amut."
Baca juga: Catatan Harian Santri
Sekarang aku menyadari, semua pengalaman dan aktivitas yang berproses di asrama santri telah memberikan pesan dan nilai-nilai kehidupan. Itulah yang kukenal sekarang dengan nilai pendidikan karakter, berupa sifat yang mewujud dalam diri seseorang yang ditampilkan dalam bentuk perilaku terpuji dan mengandung kebajikan yang biasanya terdapat dalam kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
Ternyata kesigapan para santri dalam mengganti pakaian dan menyesuaikan dengan program atau kegiatan yang dilalui adalah cerminan karakter bersih, rapi, dan proporsional. Kesadaran haris al-hujrah merapikan dan membersihkan kamar di subuh hari dan menyusun kasur untuk persiapan tidur di malam hari adalah cerminan karakter tanggung jawab dan peduli. Para mudabbir dengan usia mereka yang relatif muda/remaja, namun sanggup mengemban tugas dan amanah sebagai pengurus, abang, sekaligus guru ternyata telah mengajarkan mereka bukan saja menjadi pengayom, tapi juga menempa mereka mampu berlaku adil dan mampu mengambil putusan.
Makan di dapur umum yang selalu diiringi dengan antrean panjang dan mencuci piring nyata-nyata telah mengajarkanku kedisiplinan, kesabaran, tenggang rasa, kebersihan, dan tanggung jawab. Olahraga mandiri atau berkelompok mengajarkanku peduli akan kesehatan diri, menghargai prestasi, dan komunikatif. Mencuci, menjemur, melipat, merapikan pakaian mengajarkanku hidup mandiri dan rapi. Belajar mandiri atau ber-muwajahah dengan wali kelas mengajarkanku gemar membaca dan ta'dzim (hormat) pada guru.
Selain nilai karakter yang tersebutkan di atas, sesungguhnya masih banyak lagi nilai-nilai pendidikan karakter yang diperoleh di asrama melalui program kegiatan dan rutinitas hariannya dalam rentang waktu dua puluh empat jam. Adapun nilai-nilai karakter dalam mewujudkan bangsa yang berbudaya dan berkarakter adalah melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab (Pasal 3 Perpres Nomor: 87 Tahun 2017).
Pesantren yang biasa juga disebut dengan pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang sangat berpotensi dalam pengembangan pendidikan karakter para santri. Pondok dan pesantren adalah dua kata yang sering penyebutannya tidak dipisahkan menjadi 'pondok pesantren', memiliki arti bahwa terdapat pondok di dalam pesantren yang merupakan tempat tinggal (asrama) dan menjadi wadah penggemblengan, pembinaan, pendidikan serta pengajaran ilmu pengetahuan (M. Bahri Ghozali, 2003).
Kehidupan berasrama memberikan berbagai manfaat antara lain interaksi antara asatiz (para guru) dan santri bisa berjalan secara intensif, memudahkan kontrol terhadap kegiatan santri, menimbulkan stimulasi atau rangsangan belajar dan memberi kesempatan yang baik bagi pembiasaan sesuatu. Karenanya, pengelolaan asrama santri tidak hanya mengacu pada sejumlah aturan dan tata tertib hidup berasrama, tapi bagaimana asrama dikelola sebagai bagian yang mendukung tujuan pembelajaran dalam pengembangan pendidikan karakter para santrinya.
Dalam lembaga pendidikan pesantren, menjadikan asrama santri sebagai rumah tempat mereka merasa nyaman dan betah adalah salah satu prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan asrama. Asrama santri bukan sekadar menjadi tempat untuk tidur, istirahat, menjadi tempat untuk bermain atau lain sebagainya dengan mengabaikan aktivitas belajar dan berbagai macam kegiatan pendidikan lainnya.
Disadari ataupun tidak, asrama santri dan pengelolaannya dapat menghadirkan ragam kegiatan dan rutinitas yang memiliki nilai-nilai pengembangan pendidikan karakter bagi penghuninya. Untuk itu, pesantren dengan fasilitas asramanya harus mampu memberdayakan asatiz dalam memberikan pelayanan maksimal dan menjadikan asrama sebagai wahana yang benar-benar mampu menghadirkan proses pembelajaran dan pendidikan karakter yang baik.
**Disadur dari tulisan Agus Salim Salabi dalam buku Antologi "Berani Hidup Tak Takut Mati; Potret Kehidupan Santri”, 2018.
Tags : Artikel Pendidikan Pojok Santri
Posting Komentar