Warkop Pinggir Kampus: Dari Tempat Nongkrong Jadi Ruang Diskusi Kreatif
"Tak jarang ide-ide bernas justru dihasilkan dari obrolan santai penuh tawa canda dan tentunya ditemani dengan segelas kopi/sanger pancung seharga 5000-an"
Warung kopi (Warkop) di Aceh, Lhokseumawe telah lama menjadi tempat yang identik dengan kegiatan santai, seperti nongkrong bersama teman, bercanda, atau sekadar memanfaatkan WiFi gratis dengan segelas kopi. Pemandangan pengunjung yang sibuk dengan obrolan tak tentu arah, perdebatan politik tanpa ujung, atau sekadar menghabiskan waktu, telah menjadi bagian dari budaya warkop.
Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan yang signifikan mulai tampak di warkop-warkop pinggiran kampus. Kehadiran dosen dan profesional lainnya yang memanfaatkan Warkop sebagai tempat menyusun Rencana Perkuliahan Semester (RPS), bimbingan skripsi/tesis, serta mengerjakan tugas-tugas kantor lainnya, telah mengubah wajah Warkop menjadi lebih produktif.
Aura akademis yang tercipta di Warkop mulai menarik perhatian mahasiswa yang tak ingin ketinggalan, hingga akhirnya Warkop kini menjadi ruang diskusi ilmiah dan tempat berkumpulnya ide-ide kreatif.
Tak hanya gelas kopi atau sanger pancung yang kini menghiasi meja-meja Warkop, tetapi juga laptop, makalah, dan riuhnya suara akademisi yang sedang berdiskusi tentang tugas-tugas kampus. Transformasi ini memberikan warna baru pada kehidupan mahasiswa, yang mungkin sebelumnya hanya menganggap Warkop sebagai tempat bersantai, kini melihatnya sebagai tempat untuk mengasah pikiran dan produktivitas.
Tak jarang ide-ide bernas justru dihasilkan dari obrolan santai penuh tawa canda dan tentunya ditemani dengan segelas kopi/sanger pancung seharga 5000-an. Bagi para dosen, pikiran-pikiran terus mengalir untuk menuntaskan artikel-artikel yang siap submit pada jurnal terakreditasi SINTA sampai dengan Scopus.
Mahasiswa juga tak mau kalah, dari makalah, Skripsi sampai dengan Tesis juga didiskusikan di meja warkop.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa masih ada segelintir penikmat warkop yang mempertahankan kebiasaan lama mereka—nongkrong dengan tujuan semata-mata untuk bersosialisasi atau melarikan diri dari tekanan akademis. Meskipun begitu, kehadiran kelompok akademis di Warkop turut memberi pengaruh positif, mendorong mereka yang tadinya hanya sekadar nongkrong, untuk perlahan-lahan terinspirasi dan mulai mengikuti jejak para akademisi dan profesional.
Transformasi Warkop pinggiran kampus adalah cerminan dari perubahan budaya dan kebutuhan mahasiswa serta akademisi di era digital. Warkop tidak lagi sekadar tempat untuk menghabiskan waktu, tetapi telah berkembang menjadi ruang yang multifungsi, di mana kopi diseruput sambil berdiskusi tentang masa depan, merancang strategi, dan menciptakan inovasi.
Di tengah perubahan ini, penting bagi kita untuk terus mendorong agar Warkop-Warkop ini menjadi ruang yang inklusif bagi semua kalangan, tanpa menghilangkan esensi tempat berkumpul dan bersantai yang telah menjadi bagian dari identitasnya. Dengan demikian, Warkop dapat terus menjadi bagian integral dari kehidupan kampus, yang tidak hanya mengisi perut dan menghilangkan dahaga, tetapi juga mengisi pikiran dan memupuk kreativitas.
** Nama Lengkap Penulis; Dr. Agus Salim Salabi, M.A. Dosen Pada Pascasarjana IAIN Lhokseumawe
Tags : Artikel Motivasi Opini Pendidikan
Posting Komentar